Dengan adanya ancaman nilai tukar Rupiah yang terus melemah, pemerintah melakukan kebijakan untuk meredam arus depresiasi Rupiah sehingga nilai tukarnya tidak semakin anjlok. Pemerintah membentuk sebuah tim yang terdiri dari Boediono (Gubernur Bank BI), Sri Mulyani (Menko Perekonomian), serta Miranda S. Goeltoem (Deputi Gubernur Senior BI) untuk menanggulangi krisis global tersebut. Dalam merumuskan langkah-langkah, tiga ekonom tersebut menilai bahwa sector moneter adalah sector paling urgent untuk diselamatkan. Maka dari itu, BI pun secara bertahap mulai menaikkan tingkat suku bunganya sejak bulan Mei 2008. Kebijakan ini banyak menuai kritik dari kalangan ekonom maupun pengusaha di media massa. Mereka menilai justru kenaikan BI rate akan memperlemah sektor riil ekonomi Indonesia karena bunga kredit akan membebani dunia usaha. Selain itu, langkah yang ditempuh BI dalam menaikkan tingkat suku bunga ini juga berbeda dengan kebijakan yang dilakukan oleh negara-negara lain. Umumnya dalam kondisi krisis, negara-negara di dunia terutama Amerika Serikat melalui Federal Reserve dan negara-negara di Eropa melakukan kebijakan moneter dengan menurunkan tingkat suku bunga. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan tingkat pemberian kredit kepada dunia usaha sehingga mendorong sektor riil dapat tetap tumbuh yang pada akhirnya akan memperkuat perekonomian nasional.
Pemerintah juga memutuskan untuk menaikkan jaminan atas deposito hingga senilai dua milyar dan juga menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM). Hal ini terutama untuk menyerap dana dari masyarakat dan meningkatkan likuiditas perbankan.
Langkah-langkah lain yang ditempuh BI bersama pemerintah adalah:
• Pada tanggal 16 September 2008, BI meneluarkan kebijakan untuk menjaga kecukupan likuiditas di industri perbankan yang terdiri atas: menurunkan O/N Repo Rate dari semula BI Rate plus 300 bps menjadi BI Rate plus 100 bps, menyesuaikan FASBI Rate dari semula BI Rate minus 200 bps menjadi BI Rate minus 100 bps, dengan demikian koridor suku bunga O/N akan menjadi simetris dengan BI Rate ± 100 bps
• Pada tanggal 23 September 2008 BI Perpanjangan jangka waktu FTO oleh BI untuk membantu manajemen likuiditas perbankan
• Pada tanggal 9 Okt 2008 BI melakukan Perubahan Ketentuan dalam Pencatatan Efek Bersifat Hutang
• Pada tanggal 13 Okt 2008 pemerintah mengeluarkan Perppu tentang BI dan LPS
10 Langkah SBY
Pada Sidang Kabinet Paripurna hari Senin, 06 Oktober 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan 10 langkah yang harus ditempuh oleh Indonesia dalam menghadapi krisis yang mengancam perekonomian Indonesia.
Pertama, Presiden meminta agar dalam menghadapi krisis global, semua stakeholder harus terus memupuk rasa optimisme dan saling bekerjasama sehingga bisa tetap menjaga kepercayaan masyarakat.
Kedua, pertumbuhan ekonomi sebesar 6% harus terus dipertahankan dengan terus mencari peluang ekspor dan investasi, serta mengembangkan perekonomian domestik.
Ketiga, mengoptimalkan APBN 2009 untuk terus memacu pertumbuhan dengan tetap memperhatikan ‘social safety net’, dengan sejumlah hal yang harus diperhatikan, yaitu infrastruktur, alokasi penanganan kemiskinan, ketersediaan listrik serta pangan dan BBM. Selain itu, efisiensi penggunaan anggaran APBN maupun APBD khususnya untuk peruntukan konsumtif juga harus dilakukan.
Keempat, kalangan dunia usaha harus tetap mendorong sektor riil agar dapat bergerak dengan dorongan BI dan perbankan nasional harus membangun sistem agar kredit bisa mendorong sektor riil. Sedangkan pemerintah akan memberikan insentif dan kemudahan secara proporsional.
Kelima, yang diperintahkan Presiden yaitu semua pihak agar lebih kreatif menangkap peluang di masa krisis antara lain dengan mengembangkan pasar di negara-negara tetangga di kawasan Asia yang tidak secara langsung terkena pengaruh krisis keuangan AS.
Keenam, menggalakkan kembali penggunaan produk dalam negeri sehingga pasar domestik akan bertambah kuat.
Ketujuh, memperkuat kerjasama lintas sektor antara pemerintah, Bank Indonesia, dunia perbankan serta sektor swasta, sehingga menimbulkan kepercayaan masyarakat
Kedelapan, Presiden juga mengajak semua kalangan untuk menghindari sikap ego-sentris dan memandang remeh masalah – business as usual – yang dihadapi. Menurutnya, dalam menghadapi permasalahan semua pihak memiliki porsi masing-masing untuk bersama-sama menyelesaikan masalah. Kesemuanya harus bekerja sama dan tidak boleh saling mengandalkan.
Kesembilan, Kepala Negara mengingatkan 2009 merupakan tahun politik dan tahun pemilu, kaitannya dengan upaya menghadapi krisis keuangan AS adalah memiliki pandangan politik yang non partisan serta mengedepankan kepentingan rakyat di atas kepentingan golongan maupun pribadi termasuk dalam kebijakan-kebijakan politik.
Hal yang terakhir atau poin kesepuluh semua pihak diharapkan melakukan komunikasi yang tepat dan baik pada masyarakat. Tak hanya pemerintah dan kalangan pengusaha serta perbankan, Kepala Negara juga memandang peran pers dalam hal ini sangat penting karena memiliki akses informasi pada masyarakat.
(http://thestory4u.wordpress.com/2010/09/16/kebijakan-moneter-indonesia-pasca-krisis-subprime-mortgage-di-us/)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar